Selasa, 16 Desember 2008

POLITIK KOTA by patman pwk unhas (bacaan)


HAK AKSESIBILITAS ATAS KOTA

Seringkali penderita cacat terkhianati haknya untuk menikmati dan mengakses kota dengan tidak tersedianya sarana yang bisa menunjang kekurangan para penyandang cacat. Kota yang seperti ini juga merupakan dampak dari sistem kota Jakarta yang disebut Wayne Attoe sebagai “sistemik fungsionalis” yang biasanya terdominasi oleh hegemoni fungsi infrastruktur atau fungsi ekonomi semata. Padahal, para penyandang cacat pun punya hak universal dan memiliki kerinduan besar untuk bisa ikut beraktivitas dan menikmati indahnya kota.

Gerakan aksesibilitas umum nasional telah diperkuat dengan UU No. 4 Tahun 1997. Namun, wacana yang juga didukung oleh KepMen PU No. 468/1998 dan Kepmen No. 71/1999 ini tidaklah terbatas hanya pada sarana transportasi publik saja.

MOMENTUM REVITALISASI

Makam menandakan usia peradaban suatu masyarakat pada suatu tempat. Makam harus tetap dipertahankan di tengah-tengah kota karena merupakan komponen utama siklus kehidupan kota.

JAKARTA KOTA KITA, RUMAH KITA

Cities Alliance, kerja sama Bank Dunia dan UN Habitat, dalam satu tulisannya menyatakan: Dalam satu generasi , mayoritas penduduk negara-negara berkembang akan hidup di daerah perkotaan, dan jumlah penduduk perkotaan dinegara-negara berkembang akan tumbuh dengan 2,5 miliar, sama dengan jumlah penduduk perkotaan diseluruh dunia saat ini.

Hendaknya diingat bahwa mayoritas penduduk kota-kota negara berkembang miskin, seperti disampaikan oleh salah seorang mantan pejabat Bank Dunia Serageldin: pertumbuhan penduduk yang cepat dinegara-negara berkembang membuat hidup tidak toleran untuk orang miskin perkotaan, mengancam kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan kota.

Penasihat senior Cities Alliance, William Cobbett, menyatakan, urbanisasi adalah suatu sejarah, sesuatu yang tak terelekkan, dan merupakan kekuatan. Ia merinci tentang urbanisasi sebagai berikut:

v Positif, dan tak dapat dihentikan oleh pemerintah,

v Tantangan pertama adalah pemerintah, yang dapat menciptakan ketenangan, ketertiban, dengan kepemerintahan yang baik, dan

v Dengan dukungan yang cukup, penghuni permukiman kumuh mempunyai energi dan kemampuan membuat sumbangan yang sangat menentukan untuk mengurangi kekumuhan.

FENOMENA KOTA SAKIT

Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan budayanya. Kualitas kehidupan yang optimal akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Perhatikanlah kota-kota yang menjadi pusat-pusat kegiatan internasional. Daya tarik kotanya dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah pilihan warga dunia untuk mendatanginya.

Kebersihan lingkungan tidak terwujud mungkin karena sebagian jiwa warga kota banyak yang sakit akibat tekanan lingkungan. Kota yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat disekitarnya.

Wabah penyakit merupakan cermin kegagalan koordinasi manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dan manajemen pemeliharaan lingkungan kota. Kebanyakan, manajemen lingkungan kota lebih banyak sibuk dengan masalah teknis artifisial kota. Penataan kota hanya untuk kosmetika wajah kota dan dilakukan pada lingkungan tertentu saja.

KOTA YANG DEPRESI

Perkembangan kota pada prinsipnya tidak akan pernah terlepas dari perkembangan kualitas sosial-ekonomi masyarakat maupun peranan pemerintah kota di dalamnya. Kota juga tumbuh berkembang tergantung dari tingkat kesadaran masyarakatnya yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.

Kota modern biasanya cenderung bertemakan manusiawi dan berwawasan lingkungan.

Secara fisik, perkembangan kota-kota tersebut saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perencanaan perkembangan kota yang sibuk dibuat dan diubah-ubah oleh pemerintah selama ini. Sebagian besar belum terealisasikan.

Misalnya:

F ketentuan adanya pusat kota sebagai daerah pusat segala macam aktivitas masyarakatnya.

F Penghijauan kota yang membuat nuansa kota lebih manusiawi.

F Ruang terbuka kota yang secara psikologis dapat menetralisikan ketegangan akibat tingginya tingkat aktivitas masyarakat urbannya, serta daerah permukiman yang seharusnya berada di luar pusat kota.

Dengan adanya penempatan wilayah-wilayah yang tidak mengikuti alur pola aliran kegiatan masyarakatnya, sehingga menimbulkan keruwetan sistem transportasi umum. Sebagai ilustrasi, dapat diamati ramainya kerumunan masyarakat kelas pekerja saat pagi dan sore hari dipinggir jalan selama menunggu angkutan umum.

Keberadaan ruang terbuka yang mengesankan yang hampir diseluruh kota besar dimanfaatkan untuk kegiatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan penyegaran suasana kota yaitu sering dimanfaatkan oleh sebagian kelompok masyarakat secara ilegal untuk kepentingan usahanya sendiri sehingga kondisi kota yang sudah depresi.

Berbagai macam program yang telah diusahakan contohnya program sejuta pohon di Jakarta, namun dengan lemahnya pengawasan atas penerapan peraturan-peraturan pembangunan oleh bagian pengawasan dan pembangunan kota sehingga jadinya seperti sekarang.

Pelanggaran yang sangat umum terjadi adalah batas ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB). Padahal, semangat dari peraturan tersebut sebetulnya sudah jelas-jelas melindungi perbandingan daerah resapan air dan penghijauan terhadap luas dasar perkerasan atau bangunan pada setiap wilayah kota. Begitu pula pelanggaran batasan ketinggian bangunan yang didasari pada perbedaan lokasi atau kelas wilayah bangunan yang didasari pada perbedaan lokasi atau kelas wilayah bangunan yang didasari pada perbedaan lokasi atau kelas wilayah bangunan terencana, yang biasa disebut koefisien lantai bangunan (KLB).

Sudah saatnya masyarakat beserta pemerintah pemerintah kota kembali menerapkan semangat para environmentalist ke dalam unjuk kerjanya dalam perencanaan dan pengawasan pengembangan kota. Banyak pembangunan water front city sangat jauh dari prinsip serta pengertian dasarnya, sebagai contoh water front city sangat jauh berbeda dengan yang ada di wilayah pantai kota Jakarta.

ü Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 ttg penataan ruang

ü UU No. 27/1999 mengenai analisis dampak lingkungan

ü UU No. 196/1998 badan pengendalian dampak lingkungan

ü Kepmen No. KEP-42/ MENLH/II/1994 yang cukup penting mengenai pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan.

Masalahnya adalah bagaimana seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah kota mensosialisasikan semuanya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Saat ini merupakan saat yang tepat untuk menata kembali rencana dan pengawasan pengembangan kota dengan tujuan utamanya adalah melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Salah satunya dengan memberdayakan peran seluruh lembaga sosial masyarakat yang terkait untuk memantau unjuk kerja seluruh komponen yang ada di dalam kota. Begitu pula pemantauan tingkat kontribusi masyarakat terhadap pemeliharaan lingkungan hidup mereka dan juga pemantauan tingkat kualitas pelayanan serta perlindungan dari pemerintah kota.

MEMIMPIKAN JAKARTA SEBAGAI “HEALTHY CITY”

Cordia Chu (Healthy Cities Update, 1996) menyatakan, kota sehat memungkinkan warganya mengembangkan potensi dirinya jadi sejahtera dan produktif, yang memungkinkan mereka memberi kontribusi bagi pengembangan kotanya. Kota sehat dan kota yang berkembang ekonominya adalah dua sisi mata uang yang sama. Tak ada kota yang ekonominya bisa berkembang secara berkelanjutan tanpa mengadopsi kota sehat.

Kota sehat diibaratkan organisme hidup yang kompleks, bernapas, bertumbuh, dan terus-menerus berubah. Kota yang terus mengembangkan sumber dayanya sehingga warganya dapat saling mendukung dalam memaksimalkan potensinya.

Dengan sendirinya harus ada keseimbangan antara pengembangan ekonomi, industri, dan jasa untuk kepentingan komersial dengan kepentingan sosial. Antara aspek privat dan aspek publik.

Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa modal dasar pengembangan kota sehat adalah kemauan dan komitmen pemerintah kota. Serta adanya pemerintahan yang baik, transparansi, akuntabilitas, dan kesediaan mendengar aspirasi masyarakat. Pemerintahan yang baik memungkinkan pemerintah kota mengenali potensi kotanya. Mempu menetapkan prioritasnya dan mengelola sumber daya yang terbatas secara tepat. Pemerintahan yang bersih, kreatif, dan berkomitmen akan memberi inspirasi bagi masyarakat untuk menyumbang bagi terwujudnya kota sehat.

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)

Menyelamatkan RTH berarti menyelamatkan aset, potensi, dan investasi kota yang sangat berharga dan berjangka panjang demi keberlanjutan lingkungan hiduo warga dan kota kita.

Mengacu pada keputusan Menteri PU No. 378 tahun 1987, untuk mewujudkan pertumbuhan kota yang sehat dan harmonis dibutuhkan ruang terbuka seluas 15 meter persegi/penduduk. Bila penduduk Jakarta pada tahun 2010 diproyeksikan 12.500.000, diperlukan RTH seluas 12.500.000 x 5 m2 =187.500.000m2 = 18.750 hektar atau sekitar 27,5 persen dari luas Jakarta. Sedangkan dalam Tata Ruang Jakarta 2010, RTH hanya ditargetkan 13,94 persen atau 9.544 hektar. Sementara, kondisi RTH berdasarkan rencana yang akan dicapai hanya seluas 9,67 persen atau 6.623 hektar dari luas Jakarta.

Sulitnya mencari lahan pengganti RTH disebabkan semakin tingginya harga lahan ditambah rendahnya tingkat kepedulian warga terhadap fungsi RTH bagi kehidupan komunitas kota.

Adapun tantangan dalam menjaga dan mempertahankan RTH sebagai bagian integral dari kehidupan bersama untuk hidup secara nyaman di Jakarta:

F Pemanfaatan RTH lebih cenderung hanya terbatas pada fungsi tunggal, yaitu penghijauan atau estetika kota saja. Seharusnya secara normatif RTH harus memiliki multifungsi bagi kehidupan kota, yaitu ekologis, sosio-kultural, dan ekonomis sehingga warga tidak peduli terhadap keberadaan RTH.

F Pengadaan RTH atau usaha pendekatan untuk mewujudkan daerah hijau masih setengah hati atau parsial, serta belum terintegrasi dalam satu sistem kehidupan kota.

F Keberadaan RTH masih dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain yang lebih menguntungkan.

F Jika mengikuti ketegori atas barang dan jasa, RTH termasuk collective goods, yaitu barang yang dikonsumsi oleh banyak orang, tidak ekonomis, dan sulit dikelola sehingga berdampak pada permasalahan manajemen penglolaan RTH.

PENGGUSURAN

Penggusuran terus berlangsung pada hal UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk memelihara orang miskin. Begitu pun dengan TAP MPR NO. 17 1998 menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak akan tempat tinggal.

Penggusuran adalah masalah yang perlu diatasi dengan kepala dingin. Penggusuran justru akan membuat orang miskin semakin miskin. Apalagi dilakukan dengan kekerasan. Sebelum ada tempat yang layak untuk menampung mereka, seharusnya penggusuran tak dilakukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG

Mengenai Saya

MAKASSAR, SUL-SEL, Indonesia
SEORANG MAHASISWA UNHAS, ANAK TEKNIK 09 UNHAS YANG SECARA KEBETULAN KULIAH DIARSITEKTUR DAN MEMPELAJARI ILMU PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KOTA. SATU KEBANGGAAN TERSENDIRI RASANYA KETIKA SAYA BISA KULIAH DI FAKULTAS TEKNIK DAN MENJADI ANTEK 09, DIMANA SAYA DIAJARKAN TENTANG PENTINGNYA BERTEMAN, BERLEMBAGA, SOLID, LOYAL, DAN MENGHARGAI ANTEK LAIN YANG SECARA KEBETULAN LEBIH DULUAN MASUK DAN MENJADI ANTEK 09.